SEKOLAH BUKAN SATU-SATUNYA TEMPAT BELAJAR
Sudah hampir genap satu tahun pembelajaran jarak jauh ( PJJ) dilakukan guna mencegah penularan Covid-19 di lingkungan sekolah. Meski kesehatan menjadi fokus utama selama pandemi, namun PJJ yang terlalu lama nyatanya menghadirkan sejumlah kendala dari beragam sisi, baik dari siswa, guru maupun orangtua. Dalam sebuah riset, Unesco mendapati adanya indikasi defisit kompetensi atau menurunnya hasil belajar siswa selama pandemi Covid-19. Defisit kompetensi atau menurunnya hasil belajar siswa ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir semua siswa di dunia.
Diakui bahwa dengan (pembelajaran) daring ini, walaupun memanfaatkan teknologi, secara nasional atau internasional ada indikasi defisit kompetensi, artinya menurunnya hasil belajar siswa. Itu bukan di Indonesia saja, di dunia juga. Oleh sebab itu, bila tidak ada kerja keras yang luar biasa dari siswa, guru dan orangtua, dikhawatirkan defisit kompetensi tersebut akan semakin membengkak. Fokuskan pada kompetensi, tak sekadar nilai meski ada risiko yang mungkin timbul dengan PPJ yang terlalu lama, ada empat strategi pembelajaran yang bisa diterapkan di era new normal, yakni tatap muka, daring, mandiri dan kolaboratif. Di saat pembelajaran tatap muka belum bisa dilakukan di tengah pandemi, maka tiga strategi perlu diupayakan.
Pembelajaran daring, kini menjadi pilihan yang paling banyak dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Hanya saja, pembelajaran ini tak bisa diterapkan pada semua daerah maupun siswa. Perlu diakui tidak semua sekolah, tidak semua siswa mendapatkan layanan daring ini. Bagi daerah tertentu, khususnya daerah 3T, pembelajaran maya ini ibarat mimpi di siang bolong, hampir tidak mungkin karena fasilitas komunikasi yang tidak ada.
Untuk itu, perlu dilakukan strategi atau opsi pembelajaran berikutnya, yaitu pembelajaran mandiri (self mode of learning) serta pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran mandiri maupun kolaboratif dapat dilakukan melalui sejumlah opsi, seperti guru berkunjung ke rumah, belajar dengan memanfaatkan lingkungan, belajar bersama orangtua, belajar melalui bahan ajar yang diberikan oleh sekolah, serta home schooling versi lokal (belajar dengan orangtua atau wali). Melalui guru kunjung, maka ada kesempatan bagi guru untuk memberikan bahan ajar sesuai dengan kemampuan peserta didik, hingga mengetahui kondisi keluarga siswa. Sementara itu, home schooling lokal bisa dilakukan oleh orangtua atau wali yang ada di rumah.
Bicara soal pembelajaran ideal selama pandemi, kami menyarankan guru dan orangtua untuk fokus pada pengembangan kompetensi anak sesuai jenjang pendidikan, tak melulu pada nilai. Ada kecenderungan siswa-siswa sakit karena imun rendah, tugas-tugasnya buat repot mereka, jadi terlalu dituntut banyak sehingga bisa menurunkan imun. Untuk itu, guru diharapkan lebih bijak untuk memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa. Semua bisa dilakukan bila guru memahami bahwa setiap siswa unik. Justru, bila guru memaksa mencapai target kurikulum namun data fisik menunjukkan psikologis dan kesehatan siswa menurun dan malah berpotensi klaster (Covid-19) baru, kita yang rugi. Fokus pada pengembangan kompetensi siswa bisa menjadi salah satu upaya yang dilakukan guru dan orangtua untuk mencegah defisit kompetensi siswa selama PJJ.
Orangtua juga perlu memberikan dukungan bagi anak agar pembelajaran lebih menyenangkan dan menyehatkan. Seperti berdiskusi dengan anak tentang apa yang anak rasakan maupun kesulitan belajar yang dihadapi. Meski begitu, untuk daerah 3T atau daerah terpencil, PJJ sangat sulit dilakukan. Bahkan, home schooling lokal (orangtua mengajar anak) pun ditemukan sulit dilakukan. Sehingga, pemerintah diharapkan segara melakukan terobosan. Terobosan tersebut, salah satunya dengan memastikan kecukupan guru kunjung atau tutor kunjung untuk mengajar siswa di daerah 3T.
Pemerintah diharapkan menyediakan guru honor atau relawan-relawan yang direkrut yang dibekali kebutuhan pokoknya dan diberangkatkan selama setahun atau enam bulan, itu salah satu solusi untuk daerah yang terisolasi.