Bercermin pada Sifat Alamiah dengan Menilik Pendidikan dari Kacamata Nativisme
Kemajuan bidang pendidikan tak dapat tercapai tanpa ilmu filsafat. Keduanya seperti simbiosis mutualisme yang saling membutuhkan. Beberapa sekolah dan lembaga pendidikan yang ada di Indonesia turut menerapkan demikian. Filsafat dijadikan sebuah tolak ukur, pedoman, dan arahan dalam pengembangan kurikulum, strategi pembelajaran, dan pendekatan pada peserta didik. Salah satu aliran filsafat yang banyak diterapkan yakni aliran nativisme.
Nativisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang sangat populer. Dari waktu ke waktu, pola berpikir nativisme terus menunjukkan eksistensinya. Bahkan, tidak dapat kita elak lagi, bahwa nativisme sangat berkaitan dalam berjalannya pendidikan di Indonesia. Namun, sudahkah kita tahu apa itu nativisme? Mengapa aliran ini terus eksis sepanjang sejarah?
Aliran nativisme menurut bahasa berasal dari kata "nature" yang berarti alam. Secara istilah aliran nativisme adalah kecenderungan dalam pola pikir seseorang yang senantiasa membuat orang tersebut ingin kembali menuju kehidupan awal manusia. Orang yang berpikir dengan aliran nativisme, selalu dekat dengan sifat alamiah. Sifat alamiah inilah yang selalu ia bawa dan junjung tinggi dalam kehidupannya. Sehingga ada beberapa prioritas dalam menilik suatu hal dari faktor alamiah manusia.
Orang yang menganut aliran nativisme, akan mengutamakan sisi hereditas. Hereditas ialah faktor yang dipengaruhi oleh kelahiran manusia. Kemudian, faktor hereditas tersebutlah yang menjadi salah satu pemicu mengapa orang yang menganut paham nativisme cenderung menilik segala sesuatu dari faktor keturunan. Adapun tokoh penganut aliran ini ialah Schopenhauer, yang merupakan seorang filsuf dari Jerman.
Selain itu, prinsip orang yang berpikir dengan aliran nativisme selalu mengarah pada sisi bawaan lahir manusia. Seperti halnya dengan bakat yang ia bawa sejak lahir. Mereka berkeyakinan apabila seorang anak yang lahir di dunia selalu dianugerahi dengan bakat bawaan. Tentu, hal tersebut berbeda antara anak satu dengan anak yang lainnya.
Dalam perkembangannya, teori nativisme memperoleh banyak kritik. Beberapa di antaranya yaitu sebagai berikut:
1. Keturunan Bukan Segalanya
Faktor hereditas dan keturunan memanglah penting bagi seseorang. Akan tetapi, tidak semua orang harus mendewakan keturunan. Dalam dunia pendidikan, keturunan tak seharusnya menjadi suatu hal final yang berpengaruh dalam proses belajar anak. Contohnya, pada masa lampau anak bangsawan dan raja cenderung diperbolehkan bersekolah. Hal ini bertolak belakang dengan anak orang biasa. Sehingga, hal tersebut kini menuai kritik.
2. Ikhtiar Lebih Berpengaruh
Salah satu kritik untuk aliran nativisme ini adalah ikhtiar lebih berpengaruh. Bagi seorang anak, keturunan tidak selalu membuat ia sama seperti keluarganya yang terdahulu. Tidak selalu anak raja kelak akan menjadi raja pula. Terkecuali apabila dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat melanjutkan jejak sebelumnya. Dengan begitu, tak dapat diungkiri jika ikhtiar lebih berpengaruh daripada sifat alamiah.
3. Pendidikan Menyetarakan Manusia
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memiliki hidup yang lebih baik adalah dengan belajar. Sehingga peran dunia pendidikan dan sekolah sangat berdampak bagi peradaban. Adanya anggapan si nativisme yang mengutamakan sifat bawaan lahir, tidaklah benar. Dunia pendidikan menyetarakan semua orang untuk memperoleh kesempatan yang sama. Dari situ, faktor keturunan maupun bakat bawaan, dapat disetarakan dengan orang yang berpendidikan.
Dalam aliran nativisme, kita seringkali mendengar ungkapan bahwa "buah jatuh tak jauh dari pohonnya". Ungkapan itu sejatinya menunjukkan apabila keturunan ialah faktor yang berpengaruh bagi kelangsungan hidup peradaban ke depannya. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, ada transformasi menuju arah modern pula. Termasuk dalam aliran nativisme ini.
Beberapa perkembangan aliran nativisme yang dapat kita lihat saat ini ialah penentu keberhasilan seseorang bukanlah dari keturunan, melainkan dari bakat yang ia miliki. Akan tetapi, setiap bakat tentu memiliki kecenderungan. Ini menjadi sebuah pembeda, bahkan dengan tokoh terdahulu yang terikat keluarga. Sebab, terdapat kemungkinan apabila seorang anak memiliki kecenderungan bakat yang berbeda dengan orang tua, kerabat, maupun saudara kandungnya.